Inilah Hukum Istri Lebih Mementingkan Keluarganya daripada Suaminya Menurut Islam

Inilah Hukum Istri Lebih Mementingkan Keluarganya daripada Suaminya Menurut Islam


Apakah Anda seorang istri yang lebih mementingkan keluarga Anda daripada suami Anda? Apakah hukum istri yang lebih mementingkan keluarganya daripada suaminya, menurut Islam?


Setelah memasuki kehidupan berkeluarga, suami dan istri memiliki hak dan kewajibannya masing-masing. Rumah tangganya tersebut telah berpisah dari kedua orang tuanya, karena yang menjadi pemimpin saat ini adalah suami.


Suami adalah pemimpin di dalam rumah tangga, baik untuk istri maupun anak-anaknya. Allah SWT memberi keutamaan bagi laki-laki untuk menjadi yang lebih tinggi kedudukannya dari pada perempuan, karena dialah yang memiliki kewajiban untuk memberi nafkah dan mendidik istri serta keluarganya. Allah SWT berfirman:


Laki-laki (suami) itu pelindung bagi perempuan (istri), karena Allah telah melebihkan sebagian mereka (laki-laki) atas sebagian yang lain (perempuan), dan karena mereka (laki-laki) telah memberikan nafkah dan hartanya.” (QS An-Nisaa’: 34).


Meski suami maupun istri memiliki hak dan kewajiban, namun suami mempunyai kelebihan atas istrinya. Allah SWT berfirman: “Dan mereka (para perempuan) memiliki hak seimbang dengan kewajibannya menurut cara yang pantas. Tetapi para suami mempunyai kelebihan di atas mereka. Allah Mahaperkasa, Mahabijaksana,.” (QS Al-Baqarah: 228).


Namun, ada sebagian istri yang belum sepenuhnya memahami hal ini, sehingga dibandingkan dengan suami, mereka masih mengutamakan keluarganya. Sebenarnya, apa hukum istri yang lebih mementingkan keluarganya daripada suami? Simak penjelasannya di sini!


Ketaatan Istri Kepada Suaminya



Hukum istri yang lebih mementingkan keluarganya daripada suami akan tergambar dalam ketaatan istri kepada suami. Karena setelah wali istri menyerahkan kepada suami, maka setelah menaati Allah dan Rasul-Nya menaati suami menjadi hak tertinggi yang harus dipenuhi.


Dikutip dari Islamidia, sebagaimana sabda Rasulullah SAW: “Seandainya aku boleh menyuruh seorang sujud kepada seseorang, maka aku akan perintahkan seorang perempuan sujud kepada suaminya,.” (HR Tirmidzi no 1159, dinilai oleh al Albani sebagai hadits hasan shahih).


Sujud merupakan bentuk dari ketundukan, sehingga hadits tersebut mengandung makna bahwa suami mendapatkan hak terbesar atas ketaatan istri. Sedangkan kata: “Seandainya aku boleh…,” menunjukkan bahwa sujud kepada manusia tidak boleh (dilarang) dan hukumnya haram.


Istri harus mematuhi suaminya dalam hal-hal ma’ruf (yang mengandung kebaikan dalam agama). Misalnya, ketika diajak melakukan hubungan badan, memerintahkan mereka untuk shalat, berpuasa, shadaqah dan bentuk perintah lainnya, sepanjang tidak bertentangan dengan syari'at.


Saat seorang istri taat pada suami, maka istri akan diberi pahala surga. Rasulullah SAW bersabda: “Apabila seorang istri mengerjakan shalat yang lima waktu, berpuasa di bulan Ramadhan, menjaga kemaluannya (menjaga kehormatannya), dan taat kepada suaminya, niscaya ia akan masuk Surga dari pintu mana saja yang dikehendakinya".


Dalam Islam, istri bahkan dilarang berpuasa sunnat kecuali dengan izin suaminya, apabila suami sedang berada di rumahnya. Ini menunjukkan bahwa apapun yang dilakukan istri, harus mendapatkan izin dari suami. Hal ini berdasarkan hadits Nabi SAW:


Tidak boleh seorang perempuan puasa (sunnat) sedangkan suaminya ada (tidak safar) kecuali dengan izinnya. Tidak boleh ia mengizinkan seseorang memasuki rumahnya kecuali dengan izinnya dan apabila ia menginfakkan harta dari usaha suaminya tanpa perintahnya, maka separuh ganjarannya adalah untuk suaminya.


Dalam hadits ini seorang istri dilarang puasa sunnat tanpa izin dari suami dan sifatnya haram dilakukan. Al-Hafizh Ibnu Hajar rahimahullaah mengatakan: “Dalam hadits ini terdapat petunjuk bahwa hak suami lebih utama dari amalan sunnah, karena hak suami merupakan kewajiban bagi istri. Melaksanakan kewajiban harus didahulukan daripada melaksanakan amalan sunnah,


Hukum Istri Lebih Mementingkan Keluarganya Daripada Suami



Sebagaimana Hadits Nabi SAW yang menjelaskan tentang keutamaan suami di atas, maka seorang istri tidak diperbolehkan lebih mementingkan keluarga dari pada suami dan hukumnya menjadi haram.


Syeikhul Islam Ibnu Taimiyyah mengatakan: “Seorang perempuan jika telah menikah, maka suami lebih berhak terhadap dirinya dibandingkan kedua orang tuanya dan mentaati suami itu lebih wajib dari pada taat orang tua." (Majmu’ Fatawa 32/261).


Bahkan, dalam sebuah riwayat dari Anas bin Malik RA meski sebagian ahli hadis menyebut sanadnya lemah menjelaskan saat para sahabat bepergian untuk berjihad, ia meminta istrinya agar tidak keluar rumah sampai ia pulang. Di saat bersamaan, ayah istri sedang sakit.


Karena telah berjanji untuk taat kepada suami, istri tidak berani menjenguk ayahnya. Namun karena merasa khawatir, ia pun mengutus seseorang untuk menanyakan hal itu kepada Rasulullah SAW. Beliau menjawab, “Taatilah suami kamu.


Sampai ayahnya meninggal dan dimakamkan, istri tersebut belum berani berkunjung. Untuk kali kedua, bertanya Nabi SAW. Jawaban pun ia dapatkan.


Selang berapa lama, Rasulullah SAW mengutus utusan kepada istri tersebut agar memberitahukan bahwa Allah telah mengampuni dosa ayahnya berkat ketaatannya pada suami.


Kisah dari at-Thabrani itu setidaknya menggambarkan tentang bagaimana sikap seorang istri. Manakah hak yang lebih didahulukan antara hak orang tua dan hak suami, tatkala perempuan sudah menikah, dan menjadi jawaban atas pertanyaan bagaimana hukum istri lebih mementingkan keluarganya daripada suami.


Syekh Kamil Muhammad ‘Uwaidah dalam buku Al Jami’ fi Fiqh An Nisaa’ mengatakan, seorang perempuan sebagaimana laki-laki, mempunyai kewajiban sama berbakti terhadap orang tua. Penghormatan terhadap ibu dan ayah sangat ditekankan oleh Rasulullah SAW.


Namun, menurut Syekh Yusuf al-Qaradhawi dalam kumpulan fatwanya yang terangkum di Fatawa Mu’ashirah menerangkan bahwa kewajiban tersebut dibatasi selama yang bersangkutan belum menikah. Bila sudah berkeluarga, seorang istri diharuskan lebih mengutamakan taat kepada suami.


Meski begitu, kewajiban menaati suami bukan berarti harus memutus tali silaturahim kepada orang tua atau memutuskan tali silaturahmi kepada keluarganya yang lain. Seorang suami dituntut mampu menjaga hubungan baik antara istri dan keluarganya.


Dengan kemajuan teknologi saat ini, jika suami istri berada jauh dari orang tuanya bisa dilakukan dengan cara yang amat mudah. Ikhtiar tersebut bisa diupayakan dengan menggunakan telepon, misalnya. Atau sesekali mengajak menjenguk orang tuanya.


Sebab, Al-Qaradhawi menambahkan, di antara hikmah kemandirian dalam sebuah rumah tangga ialah meneruskan garis keturunan. Artinya, keluarga dibentuk sebagai satu kesatuan yang utuh tanpa ada intervensi pihak luar, yang juga bisa datang dari orang tua ataupun saudara yang lain.


Jika ada campur tangan dari pihak lain, biasanya akan ada kendala dalam menjalankan rumah tangga. Allah SWT berfirman, “Dan Dia (pula) yang menciptakan manusia dari air lalu dia jadikan manusia itu (punya) keturunan dan mushaharah dan adalah Tuhanmu Mahakuasa.” (QS Al-Furqan: 54).


Ada juga beberapa hadis lain yang menguatkan tentang pentingnya mendahulukan ketaatan istri kepada suami dibandingkan orang tua. Di antara hadis tersebut, yaitu hadis yang diriwayatkan oleh al-Hakim dan ditashih oleh al-Bazzar.


Dalam hadis tersebut, Aisyah pernah bertanya kepada Rasulullah, hak siapakah yang harus diutamakan oleh istri? Rasulullah menjawab, “(Hak) Suaminya.” Lalu, Aisyah kembali bertanya, sedangkan bagi suami hak siapakah yang lebih utama? Beliau menjawab, “(Hak) Ibunya,” (HR Al-Hakim).


Jadi, karena hukum istri yang memprioritaskan keluarga daripada suami adalah hal yang terlarang, sebaiknya istri lebih sering berdiskusi dengan suaminya agar suami ridho dan mengizinkan apapun yang dilakukan istrinya, termasuk yang berkaitan dengan keluarganya.